Kamis, 27 Agustus 2015

CERPEN SEKOLAH KEHIDUPAN { Bagian 1 - 3 }





23 Agustus 2015
1. Berawal dari Victoria Park
Hidup bagai berlari mengikuti bayang samar yang selalu setia menemani ke manapun kaki melangkah. Di sana terangkum beragam kisah yang membentang yang selalu datang silih berganti. Ada kisah sedih, gembira, penuh perjuangan dan heroik. 
Beragam warna-warni kehidupan menyatu dalam kisah tersebut. Para insan yang menjalaninya harus lapang dada, semua musti dihadapi dengan tegar, meski itu berat sekali pun, sebab hidup bukan hanya sekedar memangkas waktu, karena waktu tak pernah berkompromi dengan kehidupan, ia menggasak apa yang ada detik demi detik, dan kehidupan itu sendiri harus dihadapi dengan berani. Akankah hidup bermurah hati membuka peluang untuk kehidupan yang lebih baik?
Jam yang berdetak dan waktu yang bergullir adalah kenyataan yang ada bagi siapa saja termasuk untuk Tika, Bunda Mey, Cikal dan Ati, 4 sahabat BMI Hong Kong, untuk mereka kehidupan sama artinya dengan kerja keras. 
Menjadi BMI adalah dipaksa untuk jadi pribadi yang mandiri. Itu sudah merupakan tuntutan yang tak bisa ditawar atau ditunda kalau berani jadi BMI.
 Di situlah sikap yang mandiri, tegar dan kuat yang harus mereka ciptakan, tanpa itu maka waktu yang datang dengan ganasnya akan melibas apa saja yang ada di hadapan.
Ya, waktu tak pernah bermain dengan mimpi, semua harus diwujudnyatakan bersama angan-angan yang tercipta dari masa demi masa. Menjadi Buruh Migran Indonesia di luar negeri, itulah jalan satu-satunya yang harus mereka lakukan. Sebuah pekerjaan yang butuh keberanian dan ketangguhan mental, sebab semuanya diawali dari kesendirian, kerja keras dan air mata.
Hong Kong adalah kota impian, kota yang terletak di daratan Tiongkok inilah yang menjadi tujuan para BMI untuk menggantungkan asanya mendulang devisa demi keluarga dan bangsa. Di sana, lebih dari 150.000 TKI mengucurkan peluh, berpacu dengan waktu untuk mengadu nasib mengais rejeki yang kemudian hasilnya dikirim untuk keluarga mereka di Indonesia. Mungkin menjadi BMI adalah pilihan yang terpaksa, mereka terpaksa harus meninggalkan keluarga, suami, isteri bahkan anak-anak.

 Hampir semua BMI adalah perempuan, rata-rata bekerja sebagai Penata Layan Rumah Tangga (PLRT). 
Di sana, sebutan sebagai Buruh Migran Indonesia (BMI) menjadi sebutan yang biasa terdengar. Tak ada rasa malu untuk mengakui status mereka sebagai buruh migran yang mengais rejeki di negeri orang. Sebutan itu harus diterima dengan lapang dada.
Ada keakraban tersendiri bila mereka bertemu dan saling berinteraksi, rindu akan tanah air sekejap terobati dan mereka bertutur serta bertukar informasi tentang berbagai hal, tak jarang ada yang membawa makanan khas Indonesia untuk sejenak dikecap. Rasa rindu akan tanah air seolah tersalurkan dalam canda tawa dan makanan yang tersaji yang mereka sengaja buat di tempat bekerja untuk dicicipi bersama. Satu, dua atau tiga jam dalam pertemuan itu belumlah cukup untuk melepas rindu. Kisah tentang tanah air dan keluarga menjadi sedemikian berharganya, sehingga tak jarang mereka bersama mencucurkan air mata bila mengingat orang-orang yang dikasihi jauh di seberang lautan.
Di sana, dalam euphoria sesaat, di sebuah taman yang dinamakan Victoria Park yang terletak di Causeway Bay, Hong Kong, para BMI ini saling bertemu. Di hari libur yang cerah, di situlah tali silahturahmi yang terkikis akibat rutinitas kerja, terjalin kembali. Victoria Park tak lagi hanya berfungsi sebagai taman yang bisu tanpa makna, ruang publik yang asri ini telah berubah warna, di sini canda dan tawa berbaur bersama beragam kisah yang meluncur bebas tanpa batasan dan aturan yang mencengkeram ruang gerak. Di taman ini segenap janji bisa terucap, dan janji itu tertuang dalam kisah anak-anak manusia yang berusaha untuk merubah hidup menjadi lebih baik lagi, tentunya dengan impian yang selalu terekam di benak ingatan, mimpi ingin terbebas dari rutinitas kerja yang memuakkan, mimpi ingin bekerja dengan kekuatan diri sendiri, mimpi untuk terbebas dari ikatan perbudakan terselubung, semua itu selalu ada di hati, ya mimpi yang tak pernah lekang oleh waktu.
Victoria Park adalah bagian dari sejarah hidup setiap BMI yang menyinggah Hong Kong dan Victoria Park juga seakan saksi betapa para BMI tak terasa telah berlama-lama di negeri seberang. “Sebuah goresan tanda tangan di lembar kertas kontrak sudah memperpanjang masa kerja 2 tahun. Cukup 5 kali menanda tangan maka itu berarti 10 tahun…hanya 2 detik untuk melakukan satu tanda tangan dan setelah itu selama 2 tahun umur harus bertambah di Hong Kong” demikian ujar seorang BMI. Haruskah selalu begitu?
***
Novel Sekolah Kehidupan 24 Agustus 2015
2. Sebuah Sore di Victoria Park

Sore itu, di sudut Victoria Park, Tika, seorang BMI muda, duduk menyendiri dengan wajah murung. Suara riuh celoteh para BMI yang lain, tak menggoyahkan sikap bisunya. Ada rasa sedih bercampur gundah menyuluti hatinya, seorang sahabat di kampungnya mengirimkan WA dan mengabari kalau sang sahabat itu baru saja diwisuda menjadi sarjana. “Aku dulu yang mengajari dia beberapa mata pelajaran, dia sering kuberi contekkan. Sekarang dia sarjana, sementara aku tetap mendekam di sini bertahan dengan ijasah SMP.” Ujarnya serak seolah pada dirinya sendiri. Wajahnya mengengadah, menatap langit biru yang menghiasi Victoria Park.
Tika lalu menatap beberapa teman sesama BMI yang sedang tertawa ceria.  Lamunannya melayang jauh, mengenang kehidupannya di sebuah desa di bawah kaki Gunung Merapi nan sejuk, di Yogyakarta sana. Di sana, tempat ia dibesarkan, sekolah bukanlah prioritas, bisa mencari uang yang banyak, dapat menyenangkan orangtua, membangunkan mereka rumah yang nyaman dan membelikan sepetak sawah dan kebun, adalah angan sederhana yang selalu menghantui benak para gadis muda seperti dirinya. Ya, itu sudah cukup. Tak perlu sekolah tinggi-tinggi itu yang ada di benak banyak orang.
“Berbakti pada orangtua itulah yang terpenting,begitu selalu yang ia dengar dari guru sekolahnya di desa.
Ya, dengan segala yang ia lakukan sekarang, seharusnya ia tidak kecewa.
 Dengan gajinya, semua itu telah ia lakukan, kedua orangtua telah ia buatkan rumah, mereka sehat dan bahagia, Ibu sudah ia belikan anting, kalung dan gelang emas, lalu apa lagi? Tapi kesedihan tetap saja muncul, ingatan akan sahabatnya yang telah menggondol ijasah sarjana, sungguh membuat hatinya miris. Hhh…
sampai kapan aku harus memeras tenaga di negeri orang seperti ini?
“Kesedihanmu tak akan membawamu menjadi sarjana.”tegur seseorang tiba-tiba. Tika terkesiap. Ia menoleh. “Darimana kau tahu apa yang aku pikirkan?” tanyanya.
“Mangkanya jangan ngoceh sendirian. Nanti kau disangka tidak waras. Kenapa, kau tak suka sahabatmu menjadi sarjana?”
“Hmmm…bukannya tidak suka, aku hanya tak mengerti akan perputaran roda kehidupan ini, menurutku tak adil, mengapa sahabat yang kuanggap bodoh, selalu menyontek dariku, sekarang bisa menjadi sarjana? Sedang aku, harus membanting tulang hanya dengan bekal ijasah SMP, ini benar-benar tak seimbang!” jiwanya memberontak hati kecilnya berteriak.
Tika adalah gambaran asli banyak BMI, mereka merasa terpuruk tak sanggup meraih pendidikan bukan karena tak cerdas namun karena kesempatan tidak berpihak pada mereka

Adakah peluang baru bagi otak-otak cerdas generasi muda bangsa yang sekarang harus mengembara sampai ke seberang samudera demi kesejahteraan keluarganya?
*Bukankah mereka telah buktikan diri sebagai sosok pemberani dengan bekerja melintas batas tanah air?
*Bukankah mereka telah memperluas cakrawala kehidupan mereka dengan tinggal di kota dunia dan berjejaring dengan teman baru se nusantara? 
*Bagaimana caranya agar jutaan aset bangsa yang berharga ini bisa tumbuh dan timbul menjadi cahaya terang bagi mereka sendiri, keluarga mereka dan tanah air tercinta? 
TUHAN Pengasih akan memberi jalan kepada siapa yang mencari tanpa lelah.


Novel Sekolah Kehidupan 25 Agustus 2015
3. Berjumpa dengan Tie

Gadis langsing berkulit hitam manis, bermata indah itu mendekat, “Perkenalkan, namaku Tie, sesungguhnya menyesali apa yang telah terjadi hanya sebuah kesia-siaan. Aku akan bercerita tentang sebuah sekolah yang lebih berharga dari sekedar sekolah formal, namanya Sekolah Kehidupan. Maukah kau mendengarkannya?”tatap si mata indah bernama Tie itu.
Tika memandang Tie sejenak.
 Ketulusan yang terpancar dari mata indah gadis yang ada di hadapannya membuatnya tak ragu untuk menganggukkan kepala. Ia menggeserkan duduknya, mempersilahkan Tie duduk di sampingnya.
“Sekolah kehidupan mirip sekolah formal, ada jenjang-jenjangnya.”kata Tie memulai pembicaraan. 
“Di sekolah formal membutuhkan tingkatan, mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, hingga Sekolah Menengah Atas. Tapi Sekolah Kehidupan merupakan sekolah yang memiliki arti tersendiri. 
Untuk Sekolah Kehidupan SD berarti Sadar Diri…”lanjutnya.
Tika mendengarkan celoteh Tie dengan lebih serius. “SD itu Sadar Diri? Maksudmu?”
“Begini, Mereka yang lulus SD atau Sekolah Kehidupan, memiliki kesadaran baru dalam kehidupan mereka, artinya tiap siswa memperoleh inspirasi melalui pembelajaran yang mereka dapatkan, kemudian mereka menjadi sadar bahwa ada hal-hal yang perlu dan penting untuk masa depan mereka.
 Memang, mungkin saat ini mereka tidak tahu dan belum mampu untuk melakukannya, tapi layak itu semua diperjuangkan. 
Kesadaran yang berikutnya adalah pentingnya belajar sebagai sebuah cara penting mengubah masa depan.
Mereka sadar bahwa mereka harus bertindak pro-aktif untuk mengatasi ketidaktahuan dan kekurangan diri mereka dan kemudian mereka akhirnya menjadi sadar untuk tidak cepat putus asa dan mau terus belajar,”jelas Tie.
Ucapan Tie yang sarat makna itu membuat Tika mencoba mencari jawaban ke mana arah perkataannya.
“Setelah SD, lanjut ke SMP yang merupakan kepanjangan dari Selalu Menjadi Pembelajar. Hm kau tahu artinya? Ups siapa namamu?”Tatapan Tie tertuju ke bola mata Tika.
“Tika.”
“Yup Tika, kau tahu di abad 21 ini menuntut setiap orang yang ingin sukses harus menjadi pembelajar yang sejati sepanjang hayatnya. Pembelajar sejati memiliki cita-cita atau impian masa depan yang jelas dan mereka bisa belajar dari siapa saja, baik dari majikan mereka, dari teman majikan, dari koran, majalah, internet dan juga televisi. Seorang pembelajar tidak sungkan untuk belajar dari temannya, bahkan dari seorang pelayan di super market pun ketika ia sedang melayani pembeli. Seorang pembelajar dapat mengeksplorasi kehidupan yang dilihatnya sebanyak mungkin.
Pengalaman dan peristiwa dalam kehidupan apa pun dan kapan pun, bisa dijadikan sebagai sumber belajar dalam mengarungi kehidupan. Jadi ijasah SMP dari Sekolah Kehidupan bukan berbentuk selembar kertas, namun ratusan atau ribuan kertas yang berisi catatan-catatan pembelajaran yang didapatkan dalam mengarungi kehidupan, semua itu akan tersimpan di dalam hati dan ingatan…”
Tika kian tertarik, ia makin serius menyimak tiap kata yang keluar dari bibir gadis yang ada di hadapannya, ia seperti tengah berhadapan dengan seorang Bhagawan yang tengah berceloteh tentang filsafat kehidupan.
“Kau sudah memiliki ijasah SMP tentang Sekolah Kehidupan?” tanya Tie.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar